Sinema Rabu 2015–2019
Sinema Rabu adalah hal yang ajaib buat gue. 2014 ketika Paviliun 28 lahir gue sudah mulai main-main ke sana, ketemu orang-orangnya dan menanyakan sistem untuk memutar film di sana.
Dengan bekal seadanya dan jaringan yang nggak seberapa hanya punya modal Infoscreening. Waktu itu pun followernya gak banyak. Tapi salah satu privilese dan modal terbesar kami -karena katanya harus sadar privilese- adalah kami berkegiatan di Jakarta dan orang-orang industri film ada di sana sehingga lebih mudah dihubungi dan diundang datang.
Maka 2015 gue datang dengan sebuah konsep penayangan film khusus film panjang Indonesia, karena diputarnya hari Rabu, gue namakan Sinema Rabu. Gue email lah konsep ini ke manager paviliun saat itu Mba Nia, dan kemudian konsep ini gue share juga ke teman yang gue kenal dari bikin film pendek bareng tahun 2014 yaitu Jona yang pengetahuan filmnya lebih luas. Shortly gue ajak Ali, anak Moviegoer ID yang kami kenalan waktu pemutaran di Atamerica. Sedangkan Jona bawa Ignas untuk bertugas sebagai kreatif bikin desain dan bikin video untuk diskusi.
Pemutaran perdana Sinema Rabu memutar film Fiksi. karya Mouly Surya dengan dihadiri langsung oleh sutradaranya datang ke Paviliun 28 saat itu. Sebagai pemutaran perdana, ada hal-hal yang kemudian perlu banyak dibenahi, pemutaran harus diundur setengah jam menjadi pukul 19.30 yang kemudian kami ajeg di jam tersebut. Yang datang juga hanya tujuh orang. Kami pun mendapat teguran dari pihak pembuat film, belajar dari sana kami berusaha lebih baik lagi. Kebetulan tidak lama setelahnya Buttonijo hadir dengan film Another Trip to The Moon-nya, dari sana rasanya Sinema Rabu menjadi salah satu momentum.
Banyak dialektika terjadi selama proses, gue dan Jona sendiri beberapa kali debat di grup WA soal beberapa hal, mungkin karena sebenarnya gue coba jadi pribadi yang lebih asertif karena baca beberapa buku biografi orang-orang yang terkenal keras dan bagaimana mereka menghargai orang yang dapat menyampaikan pendapat. Gue sebagai anak marketing, Jona yang pengetahuannya lebih luas, beberapa kali berdebat perihal kegiatan kami ini namun tetap berteman seperti biasa. Berproses di Sinema Rabu dan berdialektika di dalamnya turut mengubah gue. Mungkin karena Sinema Rabu-lah gue juga setelahnya gue jadi rekan kerja yang agak keras kalau misalnya diajak bikin event.
Kenapa di awal gue bilang Sinema Rabu merupakan hal yang ajaib? Gue ada satu start up namanya Infoscreening, yang mana proses untuk ajegnya lama sekali, sementara di Sinema Rabu seperti sulap, punya ide dan jadi sesuatu yang bertahan sampai beberapa tahun. Niatan awal di dalamnya juga tulus untuk menghadirkan film-film panjang Indonesia secara rutin karena waktu itu banyak mendengar berita-berita terdepaknya film Indonesia dari bioskop dengan cepat. Belum lagi kalau kita bicara film-film lain yang memang tidak mendapat tempat di bioskop arus utama. Program-program setelahnya lebih karena diajak teman, atau diajak tempat-tempat lain untuk bikin pemutaran. Model Sinema Rabu sendiri dengan dua kali pemutaran dan satu kali diskusi sering kali gue terapkan dalam program lain yang gue ikut kelola melihat efisiensi dan efektivitasnya.
Program ini berkembang terus, masih teringat ada beberapa anak UMN anak IKJ rutin datang ke Paviliun 28 padahal lokasinya tidak bisa dibilang dekat dengan tempat tinggal mereka, apalagi UMN di Tangerang. Oliv anak UMN nantinya mengangkat Sinema Rabu menjadi salah satu program yang dibahas dalam skripsinya. Berbagai media cetak dan elektronik turut meliput. Tentunya program ini juga jadi keren karena diskusi yang menarik dibawakan oleh Jona.
Tahun 2017 akhir Jona memutuskan cabut dari Sinema Rabu karena mengaku dua tahun sudah cukup baginya. Beberapa bulan kemudian disusul Ignas yang fokus menjadi guru di PSKD. Rasa-rasanya di sini kemudian beberapa hal mulai berkurang. Dari perihal diskusi, atau dokumentasi dan banyak lagi karena Ali yang tadinya rutin datang harus jadi dosen. Materi publikasi oleh Ignas dan video dokumentasi juga sudah tidak ada lagi. Semua terasa rutinitas saja memutar film tanpa greget. Berpengaruh pada perolehan penonton yang benar-benar baru ramai ketika ada film yang banyak dinantikan.
Puncaknya ketika tahun lalu Paviliun 28 ganti pengelola, setelah beberapa prasyarat dan kemudian dievaluasi, akhirnya Sinema Rabu tidak lagi dilanjutkan sekitar pertengahan 2019, yang mana.. karena gue gak lagi harus nongkrong di Pav tiap pekan, jadi random nanya lowongan dosen di Semarang.
Dalam tulisan ini gue mau mengucapkan special thanks untuk semua rekan-rekan Sinema Rabu: Jonathan Manullang, Ignas Praditya, Ali Efendi, Permata Nirsa, Ranti, Rohmani, Gita Swasthi, Aryo, mas Eugene Pandji, mba Nia, mas Amir Paviliun 28 dan banyak lagi pihak-pihak yang beberapa kali datang membantu tidak bisa disebutkan satu persatu. Pihak-pihak yang ikut mendukung waktu programnya coba berkembang di beberapa tempat. Para penonton dan pengunjung setia para narasumber dan kontributor film yang sudah berpartisipasi selama empat tahun Sinema Rabu. Mohon maaf atas kekurangan dan kelalaian selama ini.
Rasa-rasanya sampai mungkin setahun lalu gue merasa sudah cukup menonton secukupnya, paham banyak hal secara general saja yang penting bisa tahu ada yang lebih pintar lebih punya kemampuan dari gue. Namun sambil teringat akan Sinema Rabu atau banyak hal yang datang dan pergi dan juga kesempatan-kesempatan yang musti bergantung pada orang lain. Jadi terpikir alasan lain kenapa gue harus jadi lebih lagi.