Pengalaman Berbagi Seputar Kekerasan Seksual
Walau bahasa Inggris gue juga belum bener, sebenernya lebih enak buat gue untuk nulis ini dalam bahasa Inggris. Tapi mungkin sebaiknya gue tulis dalam bahasa Indonesia saja mempertimbangkan akses ke banyak orang.
Jadi beberapa malam yang lalu gue coba berbagi tentang pengalaman gue tentang hal yang gue anggep pelecehan seksual ketika sedang menonton di Goethe. Sebenernya gue sadar bahwa dimensi dari cerita yang gue share itu ada berbagai macam dan bisa ditanggapi sedemikian rupa. Makanya di awal gue ngetweet gue udah bilang bakal langsung hapus dalam waktu dekat dan iya, utasnya juga sudah dihapus. Gue: pria dewasa dilecehkan, yang melecehkan cowok juga, dan waktu itu untuk beberapa hal, gue memilih diam walaupun terganggu. Selesai kejadian, gue bertanya-tanya sendiri dan akhirnya mendapat konteks kenapa orang ini melakukan hal tersebut.
Ya, seperti yang gue bilang. Dimensi dari cerita ini terbilang luas. Gue sebagai cowok oleh pandangan tertentu akan dianggap aneh kalau punya pengalaman begini. Belum lagi kenapa gue waktu itu diem aja dan baru merasa waktu tahu niatan cowok ini. Wah, bisa dianggap homofobia kali ya. Gue sadar akan semua itu, tapi akhirnya gue share juga kemarin karena gue dengan kesadaran bahwa pelecehan seksual di lingkungan perfilman udah bukan main-main lagi. Selain itu gue juga mau pelan-pelan menyadarkan bahwa pelecehan bisa terjadi buat siapa saja, melanjutkan pengalaman Candra Aditya di lokasi syuting yang ia tweet tempo lalu. Sekalian gue mau ngingetin dari pengalaman gue, kalau ada kejadian kaya gini sebaiknya orang tuh langsung bergerak melawan.
Di akhir gue tuh bilang, kalau orangnya diem digimana-gimanain, bukan berarti dia consent. Alias gue mau bilang bahwa kalau mau deketin orang, ya caranya bukan begitu (megang paha orang) seperti yang udah sering gue liat juga di kegiatan perfilman. Pengalaman kaya gini gak sedikit, contohnya banyak cerita di bus yang diem aja waktu diapa-apain tapi panik gak tahu musti apa. Apakah berarti mereka sudah iklas dengan perlakuan tersebut?
Ya pengalaman gue setelah share hal ini, persis seperti cuitan di bawah ini:
Ada satu mbak yang engage dengan cerita gue. Dia seperti tergelitik dengan cuit terakhir gue itu. “kalau bukan consent terus apa? agreement hahaha” sambil ia tertawa. Perbincangan kami pun berlanjut di DM karena cukup kurang nyaman melihat respon tersebut apalagi terlihat di tempat umum.
Kami ngobrol panjang, yang pasti gue gak punya kapabilitas untuk membela argumen gue dan DM bukan wahana yang tepat untuk itu. Entah kenapa dia juga nanyain hal yang di luar konteks, seperti apakah gue LGBT atau rainbow. Bener-bener seperti tweet di atas lah. Kaya gini perlu proses dari dirinya sendiri yang panjang. Bukan berarti harus dilecehkan dulu tapi membaca, mendengar, mempelajari dan banyak lagi. Paragraf ini terdengar patronizing memang.
First hand, gue jadi makin “paham” sendiri gimana susahnya speak up, gimana susahnya berbagi. Pengalaman gue tentunya gak ada apa-apanya dibanding yang lain, dan di sini gue gak berusaha merebut panggung (?). Banyak orang yang gak berani cerita karena urusannya ribet lagi. Penghakiman masyarakat lah, pandangan yang berwenang lah, yang belum tentu dapat keadilan yang setimpal.
Oh iya, bagaimana Mbak ini beraksi mengingatkan gue sama sebuah film yang dibuat sama anak-anak lulusan sebuah sekolah bisnis terkemuka yang menjadikan scene karakter perempuan yang bocor sex tape-nya sebagai bercandaan dalam filmnya (dan of course gagal). Disukur-sukurin semata karena ia sebelumnya meninggalkan si cowo pemeran utama. Mbak ini sendiri berpendidikan tinggi dan belajar bisnis. Ini membuat gue semakin yakin, aspek humaniora semakin krusial dan sudah sepatutnya dipahami oleh banyak orang, apapun disiplin studinya. Correctness bisa bikin orang jadi diktator, tapi sering kali ia masih penting.