Pandemi dan Nilai Jurnalisme Masa Kini
Ada sebuah kisah terkenal yang banyak diangkat dalam sejarah PR dan jurnalistik, saya pun sempat membagikannya pada para mahasiswa. Yaitu tentang kisah Wright Bersaudara mengumumkan penemuan mereka pada dunia. Saat itu seorang pewarta dari media terkemuka datang untuk melihat penemuan Wright bersaudara, mengecek apakah benar ada sebuah perangkat yang bisa terbang? Apakah ada sesuatu yang menyangga benda tersebut agar terlihat terbang. Setelah memastikan semuanya sang pewarta lalu menangkap foto pesawat ini, dan sebuah koran ternama mengabarkan tentang pesawat tersebut.
Pada masa itu adalah suatu hal yang mustahil membayangkan sesuatu sebesar itu bisa terbang. Konon masyarakat sekitar di mana Wright bersaudara mendemokan pesawat mereka belum bisa mempercayai sepenuhnya apa yang mereka lihat langsung. Begitu terbit liputan ini, seluruh dunia memahami ada sebuah penemuan baru.
Fast forward di masa sekarang. Pandemi Covid-19 perbincangan tidak henti-hentinya berbenturan. Bahkan ketika laporan mengenai jumlah korban baik pasien maupun yang telah meninggal semakin berjatuhan. Dan yang paling ramai, dan ada hubungannya dengan pembukaan di atas adalah ini.
Anji seorang figur membuat sebuah posting yang mempertanyakan foto yang diunggah Joshua Irwandi pada akun instagramnya @joshirwandi. Foto tersebut ia ambil untuk National Geographic. Beberapa poin nyeleneh namun bisa dibilang “menarik” dalam bahasan keilmuan di sini ia mempertanyakan mengapa Joshua bisa mendapat akses untuk mengambil foto. Kedua dalam poin yang lain, ia berpendapat kalau memang foto ini bisa diambil, maka bahayanya Covid-19 adalah sesuatu yang dibesar-besarkan.
Natgeo sendiri kemudian membahas perbincangan seputar foto mereka sendiri dalam sebuah artikel website mereka.
Secara kasat mata saja, yang pertama jenazah ini telah dibungkus berbagai lapisan kain. Fotografer mengambil jarak cukup jauh yang mana kita paham bahwa artinya Joshua mengambil foto sesuai dengan protokol yang berlaku. Kedua, perihal pertanyaan Anji mengenai akses yang diberikan pada Joshua. Apakah Anji sebagai figur publik memang tidak tahu bahwa pers memiliki hak untuk menyebarkan berita pada masyarakat umum? Anji disusul Jerinx dalam kesempatan lebih lanjut meminta hak mereka untuk meliput secara langsung dan melihat dengan mata kepala mereka sendiri. Pertanyaannya, atas dasar apa dan mengapa mata jurnalistik tidak lagi cukup? Mengapa ada pihak-pihak yang merasa diri mereka lebih layak menjadi perpanjangan mata masyarakat.
Berbicara seputar ini, sesungguhnya akan melibatkan berbagai dimensi. Bisa saja kita bahas fenomena zaman yang kini disebut post-modern-post-truth. Atau barusan saja di media sosial ramai perbincangan mengenai influencer culture, kaitannya dengan Anji dan Jerix. Sementara, kronologi tentang foto ini kejadian lanjutannya sudah seperti menggambarkan bagaimana masyarakat mengolah informasi.
Sebagai tambahan informasi, foto ini tidak hanya memicu perdebatan di Indonesia saja, namun juga di dunia barat. Ada fenomena global, yang sadar tidak sadar telah terjadi pada berbagai kasus, tentang mind-set dan bagaaimana manusia telah memilih dan memilah mana informasi yang mereka percayai. Suatu fenomena yang tidak bisa dipungkiri.
Disclaimer: Cerita ditulis lebih untuk membahas fenomena. Apabila ada koreksi akan tulisan di atas bisa langsung menghubungi.