Mengenai Sabtu Bersama Bapak

Panji Nandiasa
3 min readJul 20, 2016

Pekan pertama Idulfitri, saya menyempatkan diri menonton dua dari lima so called “film lebaran” yang tayang di bioskop: “Koala Kumal” karya Raditya Dika yang saya tonton duluan, dan “Sabtu Bersama Bapak”. Somehow ada benang merah dalam dua karya ini: karakter-karakter dalam film dibikin ribet sendiri oleh sesuatu.

Dalam “Koala Kumal”, seperti biasa, pembuatnya, pemeran utamanya, karakter utamanya, dibuat ribet oleh pengalaman gagal menjalani hubungan –dan kemudian coba mengajari cara terbaik menghadapi hal tersebut. Sedangkan dalam “Sabtu Bersama Bapak”, dua karakter utama Cakra (Deva Mahenra) dan Satya (Arifin Putra) menjadi kompleks oleh rekaman-rekaman video yang dibuat oleh ayah mereka (Abimana Aryasatya) menjelang tiada. Awalnya tulisan ini dibuat untuk membahas dua film lebaran tersebut, saya memutuskan untuk lebih membahas mengenai Sabtu Bersama Bapak (Monty Tiwa).

Dengan pengalaman pribadi yang saya miliki, seharusnya (dan biasanya) kisah seperti “Sabtu Bersama Bapak” bisa dengan mudah menyentuh respon biografis saya. Namun tidak, sepanjang separuh pertama film terasa hampa saja. Saya pun jadi mengerti sebuah tulisan yang membandingkan “Sabtu Bersama Bapak” dengan Tuesday With Morrie karya Mitch Albom. Dan sebagai seseorang yang tidak menyukai novel Albom tersebut, saya pun merasakan kehampaan dan kemudian terganggu pada bagian-bagian tertentu.

Mengabaikan beberapa hal, misalnya mengenai yang dikeluhkan banyak pihak tentang kualitas akting pemeran dua anak Satya dan Rissa, penggunaan efek flare, dan sebagian orang akan terganggu dengan pemilihan Ira Wibowo dan Abimana Aryasatya -karena mereka sudah tahu umur asli Ira dan Abimana, sementara melihat hal tersebut, saya anggap saja gejala biologis yang bisa saja terjadi- pertengahan film, memasuki konflik Satya dan Rissa, film barulah terasa membaik dan menuju kitahnya sebagai karya fiksi yaitu memberi sesuatu pada penikmatnya melalui cerita (dalam hal ini pendekatan filmis). Alih-alih video pesan verbal dari sang bapak yang harus dicekoki ke anak-anaknya rutin per minggu, konflik Satya dan Rissa malah lebih mengena. Melalui Satya yang dibuat jadi ribet sendiri dengan video sang bapak, dan gambaran ideal seorang istri yang ia peroleh saat dibesarkan seorang orangtua tunggal yang malah membuatnya jadi kurang menghargai istri, kita jadi lebih dapat memperoleh sesuatu.

Monty Tiwa mungkin tidak ngeuh bahwa bagian awal “Sabtu Bersama Bapak” akan tidak terlalu berhasil bagi banyak orang -ataukah ia coba melakukan perbaikan atas bagian pembuka? Dramatisasi di awal, kemudian diulanginya menutup film. Tulisan ini mungkin terlalu mencampuri prerogatif sang sutradara (toh tulisan ini mungkin tidak bisa dibilang review), namun film ini sebenarnya tidak harus diakhiri seperti itu. Entah bukunya juga seperti itu atau tidak karena belum baca, namun bagaimanapun beliau tetap memiliki hak spesial sebagai sutradara sebuah film. Penutup bahagia memperlihatkan tawa bahagia ibu yang melihat Cakra menikah misalnya, bisa jadi malah lebih berhasil dan memancing haru. Paling tidak, mungkin yang seperti itulah yang akan berhasil pada saya.

Menonton beberapa film, saya menyimpulkan bahwa karya yang baik akan tetap membuka opsi pada pemirsanya memilah sendiri mana yang terbaik. “Sabtu Bersama Bapak”, dengan konflik yang ditampilkan dan kompleksitas karakter putra-putranya membuat kita berpikir sendiri, perlu, dan benarkah melakukan dan menguliahi anak-anaknya seperti yang dilakukan sang Bapak? Atau malah lebih baik membiarkan hidup yang memberikan pelajaran terbaik dan mempercayakan sang ibu yang memberikan contoh menjalani hidup. Di sini, “Sabtu Bersama Bapak” dengan berbagai kekurangannya, masih merupakan karya yang baik. Menontonnya menjadi investasi waktu yang sepadan (atau Bahasa Indonesia-nya worth it :p -red).

--

--

Panji Nandiasa

Tulisan-tulisan impulsif dan reaktif. Catatan menjadi, dan pengingat tidak ingin jadi apa. Dapat didukung pada halaman karyakarsa.com/pnnji