Kalau Banyak Duit, Haruskah Bikin Film Sendiri?
Film menjadi hal yang semakin menarik belakangan ini. Banyak pihak mulai menggelontorkan uang atau paling tidak melirik untuk mulai berinvestasi di film. Satu sisi, ini hal yang menarik, sejarahnya industri film di dunia mulai berkembang ketika berbagai industri lain seperti tekstil, retail, mulai berinvestasi di film seperti bioskop atau ada juga yang bikin film sendiri. Ini juga yang sebenarnya membuat perfilman di Indonesia belakangan jadi menarik.
Namun di sisi lain, cukup memprihatinkan ketika para orang kaya atau paling tidak cukup punya uang ini tidak bisa bikin film yang baik, film yang proper naskahnya, punya sutradara yang dapat mengarahkan filmnya, tidak dangkal atau naskahnya tabrakan satu sama lain. Pertanyaannya, haruskah buang uang untuk buka PH sendiri, untuk bikin film apalagi film layar lebar dari nol?
Kembali ke sejarahnya, orang-orang kaya dari Hindia Belanda atau dari Amerika Utara sana berinvestasi di film secara beragam. Ada yang utama di produksi, ada yang bikin banyak bioskop, dan kemudian hingga kini berkembang bikin agency marketing dan lainnya. Ini merupakan sektor-sektor yang bisa dilirik untuk mengembangkan film dan juga memutar uang. Hal kedua, di Indonesia sudah mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah film atau orang-orang yang dapat memproduksi film secara baik terlatih secara disiplin ilmu atau melalu berbagai macam sumber. Memiliki dasar ilmu yang baik, memiliki jaringan, dan paham bagaimana membuat film dari mulai film pendek sampai film panjang. Mereka-mereka ini harusnya bisa dilirik untuk disuntikan dana, mendapat hibah atau semacam investasi untuk membuat film.
Mungkin banyak orang akan beranggapan “ah memang ada duitnya? investasi di yang seperti itu??” Tapi coba dibayangkan, uang kira-kira 7miliar untuk membuat satu film yang mana toh belum tentu balik modal apalagi dengan kemampuan membuat film yang kalau kualitasnya di bawah, akan sulit mendapatkan word of mouth yang akan mempromosikan sendiri film tersebut ke depan. Ketika sepersepuluh saja dari uang ini disalurkan untuk diinvestasikan ke berbagai sektor perfilman lainnya (bioskop, marketing, wardrobe dll) rentang investasinya jadi sangat lebar, termasuk disalurkan pada sineas-sineas film pendek yang bisa dipertanggungjawabkan portofolionya. Berapa jumlah film yang dapat diproduksi? Kira-kira dengan 200 juta rupiah, bisa menghasilkan minimal 3 film pendek yang proper dan sudah dipikirkan skema distribusinya ke depan di berbagai jaringan bioskop alternatif dan lainnya.
Kasus paling hot belakangan, misalnya filmmaker Azzam Fi Rullah seorang pembuat film dengan spesifikasi khusus: ia membuat film-film dengan estetika khusus yang biasa dinamakan film kelas B. Film-film Azzam menarik perhatian banyak pihak. Tidak sembarangan, walau berkesan film sampah, Azzam memiliki pendidikan film yang mumpuni di Institut Kesenian Jakarta. Estetika dan trik-trik yang ditampilkan dalam film-film Azzam tidak akan hadir tanpa pengetahuan yang baik.
Dengan berbagai word of mouth, Azzam mendapat perhatian yang luar biasa. Penayangan film-film Azzam senantiasa penuh oleh penonton. Secara ekonomi, kecil atau besar ada perputaran uang yang nyata di sana.
Secara singkat, dan mengambil kesimpulan: berada pada sorotan memang menggiurkan, namun berada di belakang layar dan mempercayakan investasi pada yang lebih ahli, dalam jangka panjang akan lebih menyehatkan, bagi industri atau bagi diri sendiri. Termasuk berinvestasi pada ranah non-produksi, hal yang kurang diperhatikan karena mungkin dianggap kurang spotlight. Terlihat pada Akatara 2019, jumlah proyek non-produksi yang didukung berkurang dari tahun sebelumnya dan malah digunakan untuk mendukung proyek lain yang tidak berkaitan langsung dengan perkembangan film.
Saya bahkan belum masuk pada potensi PR value: nama baik bagi investor yang mempercayakan uang mereka di perfilman termasuk bagi para filmmaker muda apabila ke-PR-an ini digarap dengan baik, akan menjadi bola salju yang positif bagi badan dan pihak yang mendukung. Tentu saja bukan sekadar menumpahkan uang lalu sudah.