Hak Untuk Menuntut Film yang Lebih……
Belakangan ramai diskusi seputar film 1917 (Sam Mendes, 2019) dalam hal ini dipicu oleh sebuah artikel di website Cinema Poetica. Banyak yang beranggapan film ini kontra produktif dengan kampanye anti-war, menggambarkan suasana perang sebagai hal yang hitam putih, penuh glorifikasi satu pihak dan mengabaikan kompleksitas dalam perang.
Beberapa pihak menanggapi bahwa memang film 1917 bukan ditujukan sebagai film anti-war, buat apa dikritik seperti itu? Namun dengan demikian apakah kritik menjadi tidak valid? Saya rasa tidak menjadi demikian. Dengan berbagai kondisi sosial yang ada sekarang, penting untuk menuntut lebih banyak pembuat film membuat film dengan perspektif yang lebih beragam. Kritik terhadap satu film, dapat menjadi pembuka dan menimbulkan kesadaran akan hal tersebut. Di sini saya rasa juga menjadi fungsi dari tulisan-tulisan yang diterbitkan untuk publik: yaitu sebagai bahan diskusi tidak hanya dua arah, namun ke berbagai arah terutama ekosistem yang menaungi: pelaku perfilman.
Tulisan-tulisan seperti ini penting untuk membuka kesadaran akan pentingnya narasi yang lain. Kita sudah lewat 100 tahun dari The Great War, hampir 75 tahun dari Perang Dunia Kedua (PDII). Deep down, manusia terobsesi dengan konflik; menampilkan banyak hal lain di luar narasi hitam putih yang kemudian menimbulkan sugesti bahwa perang adalah hal yang memang perlu, rasanya terus coba dilakukan. Saya bahkan belum bicara soal lumrahnya kisah-kisah dari yang kalah dihilangkan.
Mengadaptasi, benarkah hanya bisa pasrah?
Sekadar tambahan, baru-baru ini saya menonton Little Women (Greta Grewig), sebuah film yang diangkat dari kisah klasik dari sebuah novel dan sebelumnya telah difilmkan. Seorang kenalan, feminis garis keras tampaknya bermasalah dengan film ini, dan saya sepertinya paham dengan yang ia permasalahkan. Sebagai film yang katanya film “feminis” Little Women menampilkan gadis-gadis yang tidak bisa berdiri sendiri, salah satu karakter dalam film yang terbilang karakter utama digambarkan sebagai karakter yang plinplan: dari yang tadinya mandiri, ia menyerah dan ingin dicintai bahkan mengejar seorang pria yang ia tidak yakin benar ia cintai atau tidak.
Memang bila ditarik konteksnya film ini merupakan adaptasi dari sebuah kisah yang sudah dikenal sebelumnya. Namun seperti yang dipaparkan pada tulisan sebelumnya, kita tetap memiliki hak untuk menuntut hal-hal lain terlebih di masa sekarang saat wanita dianggap tidak bisa mandiri, dan laki-laki menjadi pemegang kuasa dan harus berkompromi. Rasa-rasanya, mengadaptasi juga punya celah untuk menjadikan cerita Little Women jadi lebih progresif dari yang ditampilkan.
Anyway, both, for me are good films. Keluhan di atas adalah hal di luar bagus atau jelek.
*Tulisan bergaris bawah dapat diklik untuk melihat sumber