Gagal Melayani Kini Hadirkan Realitas Baru
Mungkin saya cuma akan dilihat sebagai bitter, nyinyir, atau apalah apalah. Namun sesungguhnya saya sudah amat marah. Covid-19 menelanjangi kealpaan negara ini dikelola walau dengan segala jargon 4.0-nya.
Misalnya lihat saja situasi berikut, tahun 2020 tapi pelajarnya masih harus berkelompok seperti ini pergi jauh ke bukit untuk belajar dan mendapat akses internet.
Melihat foto seperti di atas, tentu saja ada yang ngehek. Fokusnya pada hal lain kalau anak-anak ini tidak physical distancing segala macam, bukan pada fakta bahwa mereka masih harus berjauh-jauh berjuang demi mendapatkan pendidikan.
Dengan logika yang sama, anak di bawah yang tewas saat harus mengakses internet mungkin juga akan disalahkannya.
Di tengah kondisi ini, Kemendikbud hadirkan sebuah kampanye untuk mengaburkan kegagalannya menghadirkan pendidikan di tengah masyarakat.
Look, I’m almost full of angst already, sudah ada yang nganggep gue bitter, karena komentarin beginian. Gue paruh waktu di institusi pendidikan yang mana ekonomi mahasiswanya beragam. Banyak di antara mereka kesulitan ekonomi dan terancam sulit untuk melanjutkan pendidikan semester depan. Gue gak tau bakal kaya gimana misalnya yang meninggal itu mahasiswa yang gue kenal. Tanpa merasa ada yang salah, mereka bikin kampanye seperti ini: meminta para guru menyampaikan cerita-cerita yang menyenangkan, atau dengan kata lain menyingkirkan narasi yang lain seputar kesulitan mereka.
Gue sudah cukup dengan toxic positivity yang bikin kita gak bisa terima kenyataan. Positivity yang bikin kita gak bisa maju. Waktu saya tanya ini, ada orang dalam yang balas. Katanya fokusnya cerita positif dulu agar daya tahan tubuh jadi kuat. Gak tau juga apa bercanda atau gimana, gue pikir gila juga ya udah situasi begitu sampai ada yang meninggal nyari sinyal masih bisa jawab kaya gitu.
Ok deh. Baik. Dengan hanya terima yang positif saja, saya mengerti bagaimana hati dan telinga kalian.