Force Majeure (2014) — Komitmen dalam Hubungan Ketika Longsor Datang
Tomas (Johannes Kuhnke) dan keluarganya -satu istri dan dua anak- berlibur ke pegunungan Alpen. Liburan ski, seperti yang dilakukan banyak dilakukan oleh keluarga lainnya di Eropa (sepertinya sih begitu). Liburan berjalan baik-baik saja, seperti halnya keluarga ini, sampai ketika mereka menikmati hidangan di sebuah restoran, longsor salju yang terlihat kecil, ternyata besar, menuju restoran yang mereka singgahi -dan ternyata longsornya gak besar-besar amat.
Saat longsor menerjang, Tomas seorang suami dan ayah dari kedua anak, tidak dengan sigap melindungi keluarganya namun malah lari melindungi diri sendiri. Usai kejadian tersebut, istri galau dan ketegangan di keluarga Tomas menyita dan mengganggu sebagian besar waktu liburan mereka.
Saya telah membaca sinopsis, dan mengedit sebuah ulasan film ini. Ketika membaca sinopsis Force Majeure, teringat juga hadis bahwa kiamat dan segala kekacauannya nanti, manusia cuma punya kapabilitas untuk ingat diri sendiri, seperti yang saya dengar melalui beberapa kesempatan. Di situ saya juga semacam paham tentang naluri manusia menyelamatkan diri. Namun aksi ‘heroik’ Tomas didesain untuk tetap membuat penontonnya menganga saat melihatnya. Apalagi ini bukan kiamat beneran, dalam keadaan tersebut masih banyak yang memikirkan orang lain, termasuk sang istri.
Longsor tersebut terjadi sekitar 25 menit awal film dan kemudian memicu konflik dan ketegangan berantai sampai akhir film yang keseluruhannya berdurasi 119 menit ini. Cukup lama, namun jangan dikira konflik dan ketegangan tersebut akan jadi membosankan. Sebaliknya, usai longsoran, Force Majeure menjadi sajian bergizi yang membawa penontonnya menelusuri masing-masing karakter.
Film ini bukan semata tentang Tomas. Usai longsor, cacat yang terungkap juga bukan semata cacat Tomas. Sang istri, Ebba (Lisa Loven Kongsli) yang tiba-tiba membeberkan kejadian usai longsor pada teman-temannya memperpanjang isu dan membuat suatu isu yang lain. Lebih lanjut ketika kemudian Tomas menunjukan penyangkalan -entah sengaja berbohong atau denial yang masuk dalam alam bawah sadarnya- kengototan Ebba semakin menjadi untuk membuktikan bahwa ia benar dan betapa hina suaminya. Di sana bisa jadi ada sesuatu yang kita tidak tahu. Tidak terlihat dalam film, namun sebelumnya, bisa jadi sebelum liburan dilaksanakan ada longsoran-longsoran kecil, dan kejadian di Alpen tersebut meledakan akumulasi kegalauan mereka selama berhubungan.
Ya, film ini kemudian menjabarkan satu sisi mengenai hubungan. Ketika satu demi satu terbongkar kekurangan, atau sedikit saja pasangan tidak seperti yang diharapkan, bisa jadi lambat laun kamu akan ilfil (ilang feeling :| -red), bisa jadi akan muncul kekecewaan. Tapi dalam ilfil tersebut, apakah dengan serta merta hubungan harus disudahi? Atau kalau dalam institusi pernikahan harus cerai? Apalagi ketika sudah punya dua “buntut”. Di sini diperlihatkan dua sisi mata uang, keluarga barat yang mungkin kita anggap gampang saja bercerai, namun begitu tetap ada pertimbangan-pertimbangan lain dalam komitmen bernama institusi pernikahan.
Setengah terakhir, bisa jadi sutradara Ruben Östlund menunjukan studi perilaku antar gender. Sebut saja ketika teman mereka yang berpasangan berinteraksi berdebat panjang usai mendengar larinya Tomas. Force Majeur pun tidak lupa menunjukan pentingnya kesosokan seorang ayah bagi anak-anak. Dan kemudian menuju akhir, Ebba terlihat menunjukan celanya sendiri namun sepertinya tidak akan dipanjanglebarkan oleh pasangan tersebut.
Konon ada kehidupan yang dijalani oleh para karakter usai film selesai, seperti yang diperlihatkan dalam buku dan film Dunia Sophie. Bila kita dapat melihat jauh pada kehidupan tersebut, dua hari saja, belum tentu apa yang terlihat masih bertahan sepanjang film, akan terus seperti itu.
Directed by Ruben Östlund
Produced by
- Erik Hemmendorff
- Marie Kjellson
Written by Ruben Östlund
Starring
- Johannes Bah Kuhnke
- Lisa Loven Kongsli
- Clara Wettergren
- Vincent Wettergren
- Kristofer Hivju
- Fanni Metelius